Minggu, 21 September 2008

Syariat Substantif dalam Konstitusi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 22 September 2008
Oleh ZUHAERI MISRAWI

Sejak prakemerdekaan hingga era reformasi, tarikan dari sebagian kelompok yang menghendaki penggantian ideologi negara tidak pernah sepi. Justru dalam beberapa tahun terakhir, mereka yang menyuarakan hal tersebut makin terdengar dari pusat hingga daerah.

Meskipun demikian, dapat dipastikan bahwa mayoritas Muslim di Tanah Air adalah kalangan moderat, yang ekspresi keberagamaannya dapat ditemukan dalam Pancasila dan UUD 1945. Ideologisasi Islam di dalam negara mengacu pada substansinya, bukan pada doktrin formalnya yang kerap kaku, rigid, dan bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia.

Pandangan tersebut dapat ditemukan dalam buku Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia karya Dr Nadirsyah Hosen, pakar hukum Islam yang kini mengajar di Universitas Wollongong, Australia.

Indonesia paling moderat

Buku ini merupakan kajian yang paling mendalam dan fokus tentang relasi antara syariat dan konstitusi. Salah satu kesimpulan yang bisa diambil dari buku ini adalah keluar dari perdebatan apologetik menuju kajian akademis yang diharapkan dapat memperkokoh keyakinan kita tentang diskursus terbaik dalam relasi syariat dan konstitusi, antara agama dan negara.

Sejauh ini ada tiga pandangan yang mengemuka perihal relasi antara syariat dan konstitusi. Pertama, paradigma fundamentalistik. Mereka yang menganut paradigma ini berpandangan, konstitusi harus berdasarkan Islam, sebagaimana diterapkan oleh Nabi dan para sahabatnya di Madinah, 15 abad yang lalu. Mereka juga memahami tidak ada pemisahan antara agama dan negara, sebagai Islam adalah agama dan negara (din wa dawlah).

Pandangan ini pada hakikatnya merupakan resistensi dan antitesis terhadap pandangan sekuler. Sebab, pandangan tersebut lahir dari rahim konspirasi Barat dan kolonialisme yang sengaja disebarkan untuk melawan Islam.

Negara yang secara konsisten menerapkan model ini adalah Arab Saudi. Di dalam konstitusi mereka disebutkan, Al Quran dan Sunah merupakan konstitusinya. Di dalam pasal lain disebutkan bahwa pemerintahan dalam Kerajaan Arab Saudi dibangun di atas premis keadilan, konsultasi, dan persamaan, sesuai dengan syariat Islam. Adapun Raja merupakan referensi utama bagi lembaga-lembaga politik, baik lembaga yudikatif, eksekutif, maupun regulatif.

Kedua, paradigma sekularistik. Mereka yang menganut paradigma ini menganggap Islam sebagai ajaran yang diterapkan dalam ranah privat dan individual. Tidak ada perintah yang bersifat eksplisit dan mengikat, baik dari Al Quran maupun Hadis, yang memerintahkan kita untuk menegakkan negara Islam. Hukum Islam hanya dapat diterapkan berdasarkan karisma seorang pemimpin, dan bukan melalui sistem konstitusional yang demokratis.

Negara yang memedomani paradigma ini adalah Turki. Meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan partai terbesar adalah partai yang berbasis kalangan Muslim, yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), negara ini mempunyai komitmen yang kuat untuk menjadikan sekularisme sebagai pijakan utama dalam konstitusi mereka. Menggoyang dan menggantikan sekularisme sama halnya dengan menafikan eksistensi negara. Tokoh yang merupakan inspirasi mereka adalah Musthafa Kemal Ataturk.

Undang-undang di Turki dikodifikasi dengan berbagai konvergensi dari sistem sekuler dari berbagai negara. Undang-undang tentang sipil dan komersial diadopsi dari Swiss, undang-undang tentang administrasi dari Perancis, sedangkan undang-undang tentang pidana dari Italia. Di dalam konstitusi mereka disebutkan bahwa Turki adalah negara demokratis, sekuler, dan sosialis, yang diatur oleh hukum dengan mengutamakan konsep perdamaian, solidaritas nasional, hak asasi manusia dan loyal pada nasionalisme Ataturk. Maka, jika Arab Saudi merupakan wajah dari negara fundamentalis syariat, Turki dapat dikatakan sebagai fundamentalis sekuler.

Ketiga, paradigma moderat, atau biasa dikenal dengan paradigma jalan ketiga. Mereka berpandangan bahwa Islam harus dipahami sebagai nilai, kebajikan, kemaslahatan bersama (common good) dan tatanan moral. Sistem Islam dalam ruang publik, intinya adalah bertujuan untuk menegakkan kesetaraan di antara warga negara. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan tata negara diatur melalui syura (konsultasi yang bersifat demokratis).

Secara umum, paradigma ini merupakan wajah dari mayoritas negara-negara Islam. Setidaknya, menurut Nadir, ada empat negara yang mengadopsi pandangan moderat, yaitu Mesir, Afganistan, Irak, dan Indonesia.

Meskipun demikian, moderatisme yang dianut dalam konstitusi mereka juga terbelah dalam dua model, yaitu formalistik dan substansialistik. Kelompok formalistik adalah mereka yang menjadikan syariat sebagai sumber utama dalam konstitusi mereka, seperti Mesir, Afganistan, dan Irak. Meskipun ekspresi keberagamaan ketiga negara tersebut relatif moderat, yang paling kentara dalam konstitusi mereka adalah penetapan Islam sebagai dasar negara. Di satu sisi, mereka menjadikan syariat sebagai dasar negara, tetapi di sisi lain mereka menerima hak asasi manusia.

Yang paling spektakuler dari model moderat di atas adalah Indonesia. Sebab, meskipun negara ini merupakan salah satu negara yang paling besar penduduk Muslimnya, hal itu tidak menjadikan Islam atau syariat sebagai dasar negara, sebagaimana model syariat formalistik. Model yang digunakan dalam konstitusi adalah model substansialistik, yaitu menjadikan nilai-nilai Islam yang universal sebagai common ground atau common platform dengan agama-agama lainnya. Istilah yang dipilih adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Komitmen syariat substansialistik

Jika mengacu pada pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dimaksud dengan sila tersebut adalah ketuhanan yang berkeadaban, yaitu ketuhanan yang dapat menghormati agama lain. Jadi, keislaman dimaknai sebagai elan vital untuk membangun spirit dialog dan kebersamaan. Apalagi dalam sebuah negara yang dikenal dengan kebhinnekaannya, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa.

Sila pertama tersebut diperkuat dengan spirit kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan. Intinya, semua agama harus mampu membangun titik temu untuk tujuan bangsa yang lebih lintas agama, suku, dan bahasa. Di sini, konstitusi memberikan garansi kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, sebagaimana tertera dalam Pasal 29 UUD 1945.

Dalam pasal tersebut ada dua hal yang ingin disampaikan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara dan jaminan kemerdekaan kepada setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.

Model konstitusi yang seperti ini dapat berjalan dengan langgeng, dan didukung sepenuhnya oleh sebagian besar kalangan Muslim di Tanah Air. Meskipun sudah beberapa kali dilakukan amandemen, konstitusi tidak mengalami perubahan yang mengarah pada formalisasi syariat. Nuansa substansialistik merupakan paradigma yang mengemuka.

Menurut Nadirsyah, meskipun negara-negara Muslim lainnya menerapkan deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia di Cairo, yang mengadopsi model syariat formalistik, hal tersebut tidak bisa eksis dan tidak diakomodasi dalam amandemen kedua UUD 1945. Artinya, yang menjadi acuan utama adalah deklarasi hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam pasal 28, yang menekankan dimensi nilai-nilai substansial agama, bukan ajaran formalnya. Bahkan, menurut Nadirsyah, yang dimaksud dengan nilai-nilai substansial agama tidak hanya mengacu pada Islam, tetapi juga mengacu pada agama-agama lainnya.

Meskipun demikian, upaya untuk mencantumkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta masih terus mengemuka, yang disponsori oleh partai-partai yang berasas Islam, seperti Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangun. Akan tetapi, upaya tersebut kandas karena ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dua ormas Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pilihan terhadap Pancasila dan UUD 1945, menurut Nadirsyah, merupakan komitmen dari seluruh rakyat perihal paradigma moderat yang memahami syariat secara substansialistik. Sebagai pilihan moderat, Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Pilihan tersebut pada hakikatnya sesuai dengan substansi syariat. Bagi kalangan Muslim, Pancasila sejalan dengan tujuan-tujuan utama syariat, yang dikenal dengan maqashid al-syariah.

Fakta konstitusional seperti itu membuktikan bahwa Islam pada hakikatnya tidak bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Islam secara substansial justru dapat memperkuat demokrasi, dan sebaliknya demokrasi dapat melindungi hak dasar dan hak hidup semua kelompok, dan yang tidak kalah pentingnya menjadi sumber inspirasi keadilan dan kesejahteraan sosial.

Buku ini secara fantastis telah memberikan harapan, bahwa konstitusi yang lahir dari Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya mampu melindungi kebhinnekaan, dan pada akhirnya menunjukkan bahwa Islam bukanlah lawan Barat dan demokrasi.

Ijtihad konstitusional ala Indonesia pada akhirnya harus menginspirasi dunia Islam, baik yang fundamentalistik maupun sekularistik, agar meletakkan Islam dalam bentuknya yang substansialistik, bukan yang bersifat formalistik.

Zuhairi Misrawi Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Ciptakan Kesalehan Sosial

Jadikan Puasa sebagai Momentum untuk Pengendalian Diri
KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Siswa SMP Muhammadiyah Simpon dan SD Muhammadiyah 2 Kauman, Solo, membersihkan Masjid Agung Keraton Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (28/8). Kegiatan yang diikuti sekitar 400 siswa ini untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Jakarta, Kompas - Umat Islam selalu diingatkan untuk menjadi individu yang saleh. Namun, kesalehan individu itu tidak cukup. Karena itu, ada perintah untuk mengamalkan perbuatan dalam wujud kesalehan sosial. Kesalehan sosial akan melengkapi kesalehan individual yang dalam beberapa hari ke depan akan dilatih selama bulan puasa atau Ramadhan.

Sekretaris Jenderal Departemen Agama Bahrul Hayat mengemukakan hal itu di Jakarta, Kamis (28/8), di depan jemaah pengajian di Depag. Bahrul menyampaikan hal itu sebagai pesan menjelang bulan puasa. Pemerintah akan menetapkan awal Ramadhan dalam sidang isbat, Minggu. Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah menetapkan puasa dimulai Senin mendatang.

Menurut Bahrul, kesalehan sosial dibangun juga dalam bentuk hubungan manusia dan makhluk hidup di luar manusia, termasuk alam sekitar. Artinya, hubungan keserasian itu tak hanya dibangun antarmanusia, tetapi juga semua hal yang melingkupi kehidupan manusia.

”Bagi kalangan Muslim, cukup banyak perintah tentang bagaimana memelihara lingkungan dan alam sekitar untuk kebaikan manusia itu sendiri. Salah satu kebaikan itu agar kita bisa mewariskan kepada generasi pada masa yang akan datang kehidupan yang lebih damai, dan lingkungan yang makin nyaman untuk ditinggali,” ujarnya.

Bahrul mengakui, bulan Ramadhan adalah kesempatan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta kualitas individu. Namun, di dalamnya tetap memiliki pesan sosial yang harus dikerjakan setiap Muslim.

”Di ujung Ramadhan, setiap Muslim selalu diingatkan untuk menolong saudaranya, memberikan zakat dari yang mampu kepada mereka yang membutuhkan,” ujarnya. Pemberian zakat juga merupakan wujud solidaritas sosial dan wujud rasa syukur atas segala nikmat dan rezeki.

Menurut Bahrul, tuntunan untuk berbuat baik dan kepedulian kepada orang di sekitar juga ada dalam ajaran Islam. ”Tinggal lagi, bagaimana kita menerapkan ajaran kepedulian kepada orang di sekitar kita ini menjadi kenyataan, dan bukan sekadar ajaran di atas kertas,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Dharma Wanita Depag Ita Bahrul Hayat memberikan bantuan pendidikan kepada siswa berprestasi yang ayah atau ibunya bekerja di lingkungan Depag.

Sekretaris Komisi Pengkajian dan Pengembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengatakan, Ramadhan memang bisa dijadikan sebagai momentum untuk pengendalian diri.

”Dengan kemampuan pengendalian ini, segala yang merusak bisa dikendalikan sehingga kita bisa memunculkan jati diri dan integritas diri. Kalau ini bisa dipelihara, maka akan menjadi semangat sosial,” ujarnya.

Dengan integritas diri itu, menurut Amirsyah, akan menjadi modal utama untuk membangun kemandirian baik umat maupun bangsa. Itu sebabnya, Ramadhan jangan sekadar dijadikan sebagai ibadah ritual atau sekadar menunaikan kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan. (mam)

[ Kembali ]

Kamis, 07 Agustus 2008

Perlukah FPI Dibubarkan?

by : Anas Urbaningrum
Dikutip dari Kolom Sudut Pandang, Harian Jurnal Nasional, Jakarta Jum'at, 06 Jun 2008.

Monas, 1 Juni 2008. Kekerasan mewarnai peringatan hari lahirnya Pancasila. Sekelompok orang dari laskar yang diidentifikasi sebagai FPI menyerang sekelompok orang lain yang dinilai membela keberadaan Ahmadiyah. Walhasil, acara bubar dan beberapa partisipan harus dirawat. Kita layak mengecam dan mengutuk insiden itu. Kekerasan warga negara atas warga negara yang lain, atas nama apa pun juga, tidak bisa kita terima. Kekerasan adalah cermin dari jalan pikiran yang "pendek akal". Juga tanda dari mentahnya akal budi kemanusiaan: tidak sanggup menerima perbedaan secara dewasa.
Kita patut memberi apresiasi kepada ketegasan pemerintah. Presiden SBY meminta aparat bertindak cepat. Argumentasinya jelas: negara tidak boleh kalah dengan premanisme. Polisi juga berlaku sigap. Sekelompok orang yang diidentifikasi sebagai pelaku kekerasan telah diamankan. Kita harapkan segera diadili di hadapan hukum.Kita tidak benci FPI dan memang tidak boleh membenci FPI. Yang kita tolak adalah kekerasan sebagai "metode perjuangan". Padahal kekerasan justru mencemari Islam, agama yang dibelanya. Kekerasan amat berseberangan dengan Islam yang damai dan teduh. Islam yang hendak diperjuangkan FPI adalah antitesis nyata dari kekerasan yang dipraktikkannya. Karena itu, FPI perlu bertaubat dari metode kekerasan. Taubatan nasuha. Ini yang jauh lebih penting. Kita perlu membantu dan menolong FPI untuk sembuh dari penyakit kekerasan. Bukan hanya FPI. Organisasi atau kelompok apa pun juga, jika bersahabat dengan kekerasan, harus kita dorong dan bantu untuk bertaubat. Itulah jalan terbaik yang bisa ditempuh. Tidak perlu dibubarkan. Setiap orang berhak berserikat dan berkumpul. Itu dilindungi oleh konstitusi. FPI adalah ekspresi hajat berserikat. Karena itu tidak boleh diganggu hak dasarnya. Negara justru harus menjamin kebebasan berserikat. Kalau kita menjamin hak hidup FPI (minus kekerasan) atau FPI yang berlaku Islami (damai dan teduh), sebaliknya FPI juga wajib memastikan untuk tidak merusak hak sipil dari warga negara yang lain. Biarkan semuanya hidup berdampingan dalam harmoni, karena saling paham dan saling menghormati. Kecuali jika FPI bersikukuh untuk tetap hidup dengan cara kekerasan. Tentu jalan terhormat yang bisa kita sarankan adalah membubarkan diri dengan sukarela. Membubarkan diri secara sadar, tanpa paksaan, jelas jauh lebih terhormat. Bukankah Habib Rizieq berpedoman: hidup terhormat atau mati syahid? Wallahu a'lam.

[Kembali]

Senin, 04 Agustus 2008

20 Keutamaan Umat Islam Indonesia

Oleh Nasaruddin Umar
Dikutip dari Rubrik Opini di Harian Jurnal Nasional, Senin, 04 Agustus 2008 halaman 10.

Umat Islam Indonesia nampaknya menjadi fenomena penting di dalam dunia internasional, khususnya di dalam dunia Islam. Ini disebabkan karena selain Indonesia dipadati oleh umat Islam, hampir 90 persen, republik ini juga sudah mulai memainkan peran penting di dalam dunia internasional. Ke-20 keutamaan umat Islam di Indonesia antara lain sebagai berikut:
Pertama, jumlah penduduk muslim terbesar di dunia adalah Indonesia. Berdasarkan survei penduduk pada tahun 2005 yang dilakukan oleh BPS, berjumlah 189.014.015 jiwa, atau 88,58 % dari total penduduk 213.375.287. Bandingkan urutan berikutnya, yaitu Kristen 12.356.404 (5,79%), Katolik 6.558541 (3,07%), Hindu 3.697.971 (1,73%), Buha 1.299.565 (0,61%), Kong Hu Chu 205.757 (0,10%), dan lain-lainnya 243.034 (0,11%). Jika dikumpulkan jumlah umat Islam di negara-negara Arab masih lebih besar kumlah umat Islam Indonesia. Bagaimanapun juga besarnya jumlah penduduk pasti memberikan konsekwensi khusus untuk mendapatkan perhatian.
Kedua, Indonesia mempunyai wilayah terluas jika dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya. Jika dibentangkan dari Sabang sampai Marauke, maka di sana akan 3 bagian waktu, yaitu Waktu Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Jika kita terbang dari ujung ke ujung maka kita membutuhkan sekitar tujuh jam, sama dengan terbang dari Ankara sampai ke London yang di sana kita melintasi hampir 20 negara.
Ketiga, geografi Indonesia berada di posisi silang. Artinya, orang Barat yang mau ke Timur harus melewati Indonesia, demikian pula sebaliknya, karena alat transportasi apapun melewati wilayah ini lebih aman dan lebih murah.
Keempat, umat Islam Indonesia didukung oleh kebudayaan lembut (soft culture). Seperti kita tahu, wilayah Indonesia sangat memungkinkan untuk terbentuknya soft culture, karena alamnya yang begitu bersahabat. Juga sebelum Islam datang sudah dikenal ada ajaran agama seperti yang tergolong soft culture seperti agama Hindu dan Budha. Berbeda dengan kultur Timur Tengah yang dibentuk oleh alam yang ganas, seperti wilayah padang pasir dan dengan budaya penduduk nomaden.
Kelima, wilayah Indonesia terdiri atas ribuan pula-pulau. Lautnya jauh lebih luas ketimbang daratannya. Kebudayaan maritim (kelautan) cenderung lebih terbuka ketimbang kultur continental, daratan seperti kita bisa saksikan di wilayah Eropa dan Timur Tengah. Kebudayaan maritim cenderung lebih terbuka, demokratis, dan egaliter di banding wilayah yang berkultur continental, meskipun hal ini tidak otomatis.
Keenam, bebas dari konflik regional Timur-Tengah. Dengan demikian Indonesia bisa memegang peran yang lebih besar dalam upaya mewujudkan hegemoni dan kawasan lebih damai. Terutama untuk perdamaian di dalam berbagai konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah.
Ketujuh, mazhabnya lebih homogen (sunni). Hal ini memberikan keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Bayangkan sekiranya Indonesia yang super heterogen ini dikotak-kotakkan lagi oleh mazhab dan aliran maka sudah barang tentu akan lebih merepotkan bangsa ini. Kota Beirut dan kota Bagdad sekarang tercabik-cabik karena pertentangan dua komunitas yang berbeda mazhab dan aliran. Di Beirut ada milisi Sunny dan ada juga milisi Syi'ah. Hal yang serupa juga terjadi di Bagdad.
Kedelapan, mazhab Sunni yang dianut di Indonesia juga sangat membantu meringankan beban pemerintah menyatukan bangsa ini. Pandangan politik sunni berasumsi bahwa 100 tahun dipimpin oleh penguasa dhalim leboh baik ketimbang sehari terjadi kosongnya kepemimpinan negara. Bandingkan mazhab Syi'ah yang tidak akan metolerir pemimpin yang dhalim. Masyarakat Sunni lebih banyak bersikap toleran dan kooperatif terhadap penguasa ketimbang masyakat Syi'ah secara konsep.
Kesembilan, Indonesia menganut sistem demokrasi. Bandingkan dengan negara-negara Islam pada umumnya masih tetap mempertahankan sisitem monarki/kerajaan. Jadi para warga bangsa yang bukan keturunan bangsawan belum bisa bermipi untuk menjadi pemimpin di negeri itu.
Kesepuluh, negara Islam pertama melakukan pemilihan presiden secara langsung. Ini juga luar biasa dampaknya di dalam masyarakat. Setiap warga negara berhak dengan begitu bebas menentukan pilihannya secara langsung tanpa bayang-bayang ketakutan sebagaimana terjadi di sejumlah negara Islam lainnya. Dapat dikatakan bahwa Indonesia negara Islam pertama merealisasikan konsep demokrasi secara maksimum.
Kesebelas, kehadiran Departemen Agama yang mengurus dan melayani kepentingan umat beragama di Indonesia. Indonesia memang bukan negara agama (Islam) tetapi juga buka negara sekuler yang memandang kehidupan agama itu sebagai wilayah privat. Departemen Agama dalam lintasan sejarahnya telah berhasil menempatkan diri bagaikan melting pot untuk mencairkan berbagai fenomena ketegangan dan konflik yang bersinggungan dengan agama.
Keduabelas, keberadaan Pancasila sebagai falsafah bangsa terbukti sangat "sakti" mempersatukan bangsa Indonesia yang sedemikian majmuk dari berbagai segi. Pansasila menghimpun yang berserakan dalam suatu wadah tunggal yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketigabelas, kekayaan alamnya amat besar dan berfariasi. Kekayaan itu melimpah di laut dan di darat, misalnya berupa ikan dan berbagai aneka tambang, kekayaan fauna dan flora serta keindahan alam lainnya yang tak terlukislan.
Keempatbelas, kesetaraan gendernya lebih maju. Bandingkan dengan negara-negara Islam lainnya, Indonesia termasuk negara yang memiliki peringkat yang lebih baik di banding dengan negara-negara Islam lainnya. Contoh kongkritnya, jalan-jalanlah di pasar-pasar tradisional di negara-negara Islam, seprti negara-negara teluk, masih tetap dominan kita menyaksikan kaum laki-laki lebih besar jumlahnya dari pada perempuan, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Sebaliknya di pasar-pasar tradisional kita di Indonesia masih seimbang bahkan sudah mulai dominan bagi kaum laki-laki.
Kelimabelas, memiliki keaneka ragaman budaya yang menjadi warna-warna lokal jaran Islam di Indonesia. Misalanya Islam Jawa, Islam Sumatera, Islam Bugis-Makassar, Islam Maluku, Islam Madura, dan lain sebagainya.
Keenambelas, adanya sistem pesantren sebagai salahsatu lembaga pendidikan Islam tradisional yang memberikan pengaruh penting di dalam masyarakat. Dengan sosiologi pesantren yang begitu penting perannya di dalam masyarakat membuat umat Islam, terutama di Pulau Jawa bisa menyatukan paradigma agama dan paradigma budaya, ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisih, dengan tetap secara kritis melakukan langkah-langkah pembinaan.
Ketujuhbelas, kehadiran perguruan tinggi Islam, seperti UIN, IAIN, STAIN, dan perguruan Tinggi Islam swasta lainnya, yang terletak hampir di setiap propinsi bahkan sampai di kabupaten, memegang peranan penting untuk memberikan pencerdasan terhadap umat. Ajaran Islam yang diajarkan di perhuruan tinggi tersebut ialah ajaran Islam yang lebih komperhensif, toleran, dan berkesetaraan.
Kedelapanbelas, kehadiran ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya ikut serta juga menciptakan kondisi yang baik untuk lehirnya sebuah umat yang menjunjung tinggi pluralitas di dalam masyarakat. Banyak konflik internal di dalam Islam dapat diselesaikan oleh ormas-ormas Islam.
Kesembilanbelas, kehadiran Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga menjadi faktor penting di dalam memelihara kerukunan umat, baik kerukunan internal umat Islam, kerukunan antar umat beragama, maupun kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Majlis Ulama Indonesia berdampingan dengan majlis-majlis agama lainnya di luar Islam.
Terakhir, faktor bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan nilai-nilai dan ajaran Islam juga sangat menentukan. Dari ujung ke ujung bangsa ini secara umum diajarkan Islam dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia sendiri memiliki karakteristik yang senapas dengan substansi Ajaran Islam, yaitu egaliter. Belum lagi kosa kata bahasa Indonesia banyak sekali yang bersal dari bahasa Arab/bahasa Al-Qur'an

Ke-20 kekhususan umat Islam Indonesia ini menjadi modal dan aset bangsa yang amat besar di dalam menyatukan umat Islam dan sekaligus menyatukan bangsa Indonesia. Sulit membayangkan adanya keutuhan bangsa Indonesia tanpa keutuhan umat Islam Indonesia. Sebaliknya sulit membayangkan adanya keutuhan umat Islam di Indonesia tanpa keutuhan bangsa Indonesia. Jadi memang kita harus hati-hati kalau ada upaya yang akan memecah belah umat Islam karena dampaknya juga akan memecah belah bangsa ini.

Nasaruddin Umar
Rektor Institut PTIQ, Jakarta

Kamis, 31 Juli 2008

ICIS, Perdamaian, dan Kemiskinan

Tajuk Rencana (KOMPAS)

Konferensi Internasional Cendekiawan Islam Ke-3 (ICIS Ke-3) berlangsung di Jakarta, 29 Juli-1 Agustus 2008. Banyak pesan yang kita simak dari konferensi itu.
Konferensi ini diselenggarakan bersama oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Departemen Luar Negeri dan diikuti 350 peserta dari 67 negara. Pelbagai isu—mulai dari konflik hingga pendidikan perdamaian— muncul dalam konferensi ini.
Kita garis bawahi pentingnya acara ini karena bertemunya peserta dari negara berlainan situasi dan kondisi dapat digunakan untuk saling bertukar informasi mengenai perkembangan mutakhir perihal Islam di negara masing-masing. Pertemuan juga dapat dimanfaatkan untuk saling belajar dalam menjawab berbagai tantangan modern.
Di sejumlah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, konflik diakui masih terjadi. Sejauh ini muncul kesan, konflik yang terjadi karena sebab-sebab agama. Namun, dalam konferensi muncul penjelasan, konflik tersebut lebih merupakan konflik politik yang harus dicari jalan keluar untuk mengakhirinya.
Sementara menyangkut perbedaan, cendekiawan NU Said Aqiel Siradj melihat itu bukan masalah karena masing-masing (bangsa dan komunitas) memiliki pengalaman berbeda. Yang penting, perbedaan tidak diikuti dengan permusuhan dan kebencian. Kita menilai baik pandangan itu dan dapat diperluas untuk konteks lebih besar hingga ke level antarbangsa. Ini mengingat dunia pascakejadian 11 September 2001 diliputi oleh perkembangan politik yang tidak menguntungkan Islam.
Salah satu upaya untuk memperluas saling pengertian adalah dengan meluaskan pendidikan berorientasi damai. Menurut Dekan Fisipol UGM Mohtar Mas’oed, upaya memperluas pendidikan perdamaian telah dilakukan meskipun sifatnya masih sporadis. Termasuk dalam hal ini adalah dialog antaragama.
Selain mendorong kerja sama mengembangkan perdamaian, konferensi juga mendapat masukan penting dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden mengimbau umat Islam perlu segera mengakhiri konflik internal agar dapat memusatkan diri pada pembangunan ekonomi dan mengangkat kehidupan 600 juta umat yang masih hidup dalam kemiskinan.
Itulah sebenarnya intisari tantangan yang masih melilit umat Islam, dan harus secara jernih dilihat, dan direspons dengan sekuat tenaga. Kita tahu, kalau tidak ada upaya untuk memperbaiki perikehidupannya, umat akan terus tertinggal dan itu membuatnya terus rentan terkena konflik. Kita berharap konferensi memberikan perhatian besar pada isu strategis ini.

Kemiskinan Jadi Pemicu

Kekayaan Alam Negara Muslim Belum Sejahterakan Umat
Dikutip dari Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Kesenjangan ekonomi yang masih besar di banyak negara berpenduduk Islam merupakan salah satu sumber pemicu terjadinya konflik dan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam harus ditujukan sepenuhnya untuk menyejahterakan seluruh umat.
Demikian rangkuman diskusi panel sejumlah ulama dan pemikir Islam dari Somalia, Filipina, Indonesia, Suriah, dan Iran pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3, Kamis (31/7) di Jakarta. Dari beberapa kasus konflik yang melibatkan umat Islam, baik di Indonesia, Somalia, maupun Filipina selatan, terlihat kesenjangan ekonomi memicu konflik.
Pada dasarnya, konflik itu lebih berakar pada masalah ekonomi, tetapi aspek agama lebih menonjol karena adanya perbedaan agama di antara para individu yang terlibat konflik.
Dr Ali Mahmud Hassan, ulama Somalia, mengatakan, motif penjajahan untuk penguasaan sumber daya ekonomi negara-negara Islam dilakukan oleh negara-negara Barat.
Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya kesatuan pandangan di antara negara-negara Islam. ”Negara-negara Islam cenderung berjarak, tidak ada kesatuan pikiran dan langkah. Di setiap negara Muslim, hampir setiap organisasi sosial yang bergerak untuk kepentingan umat Islam tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintahan sendiri,” katanya.
Ulama terkemuka Iran, Ayatollah Ali Taskhiri, mengungkapkan, sebenarnya di kalangan umat sendiri ada kesadaran untuk bekerja sama guna memperkuat ekonomi umat Islam.
Akan tetapi, sering kali hal itu terbentur pada kebijakan pemerintahan di negara-negara Islam, yang justru lebih mengutamakan kepentingan bangsa lain, khususnya Barat.
”Mungkin karena keluguan dan kebodohan kita juga kita seolah menerima saja yang datang dari Barat,” papar ulama yang sangat berpengaruh itu.

Ironi
Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik, dari Australia, Ameer Ali menegaskan, konflik yang terjadi di dunia Muslim merupakan sebuah ironi. Seharusnya komunitas Muslim berkedudukan kuat mengingat banyaknya kekayaan sumber minyak bumi di berbagai negara Muslim, yang menjadi incaran banyak negara lainnya.
Dr Santanina Tillah Rasul, mantan senator yang juga Ketua Pendiri Yayasan Magbassa Kita, Filipina, mengatakan, sejarah konflik di Filipina selatan pun bersumber dari soal ekonomi. Ada kebijakan marjinalisasi ekonomi warga Muslim di selatan negara itu. Pencegahan kesenjangan ekonomi kini menjadi tuntutan warga Muslim yang ditujukan kepada Pemerintah Filipina. (LUK/OKI)

Kembali

Menag Jelaskan Kasus Ahmadiyah ke Uni Eropa

Dikutip dari Rubrik Sosial Budaya di Harian Jurnal Nasional Jakarta Senin, 14 Jul 2008, halaman 05.

Sejumlah duta besar negara-negara Uni Eropa mempertanyakan masalah Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) kepada Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni.
"Kedatangan para duta besar Uni Eropa ini mempertanyakan masalah Ahmadiyah, karena menimbulkan kebingungan terhadap mereka dan semua sudah kami jelaskan dan mereka bisa menerimanya," ujar Menag kepada wartawan menjelaskan pertemuan yang berlangsung di ruang sidang Departemen Agama Jakarta, belum lama ini.
Pimpinan Delegasi Uni Eropa Catherine Boivineau menyatakan terima kasih diberi kesempatan untuk berdialog secara resmi dan mendapat penjelasan yang sangat baik dari Menteri Agama.
Pasalnnya selama ini yang menjadi kebingungan dari masyarakat negara Uni Eropa, Indonesia dikenal sebagai negara yang moderat menghargai dialog dan toleransi, tapi kenapa ada isu Ahmadiyah.
Menjawab wartawan tentang keinginan apa yang diperoleh dari pertemuan dengan Menteri Agama, Catherina mengatakan, pihaknya hanya meminta latar belakang, kemudian langkah-langkah yang sudah diambil dalam penanganan Ahmadiyah.
"Tidak ada target yang sangat muluk," ujarnya.
Sementara Menteri Agama mengatakan, pihaknya telah menjelaskan kepada delegasi Uni Eropa bahwa penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukanlah bentuk intervensi pemerintah terhadap keyakinan warga masyarakat.
"Intinya kami menjelaskan SKB bukan intervensi pemerintah," kata pria yang pernah menjadi Duta Besar RI di Kerajaan Arab Saudi dan Kuwait ini.
Bagi pemerintah, upaya itu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham Ahmadiyah.
Bagi pemerintah, lanjutnya, masalah JAI mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat.
"Kedua sisi ini harus ditangani pemerintah," tandas Menag.
Menag dalam pertemuan tersebut didampingi Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag Atho Mudzhar, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Buddha Budi Setyawan Dirjen Bimas Kristen Jason Lase, Dirjen Bimas Katolik Stef Agus,dan Sekretaris Dirjen Bimas Hindu I Gusti Bagus Ngurah.
Timur Arif Riyadi
Kembali