Kamis, 31 Juli 2008

ICIS, Perdamaian, dan Kemiskinan

Tajuk Rencana (KOMPAS)

Konferensi Internasional Cendekiawan Islam Ke-3 (ICIS Ke-3) berlangsung di Jakarta, 29 Juli-1 Agustus 2008. Banyak pesan yang kita simak dari konferensi itu.
Konferensi ini diselenggarakan bersama oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Departemen Luar Negeri dan diikuti 350 peserta dari 67 negara. Pelbagai isu—mulai dari konflik hingga pendidikan perdamaian— muncul dalam konferensi ini.
Kita garis bawahi pentingnya acara ini karena bertemunya peserta dari negara berlainan situasi dan kondisi dapat digunakan untuk saling bertukar informasi mengenai perkembangan mutakhir perihal Islam di negara masing-masing. Pertemuan juga dapat dimanfaatkan untuk saling belajar dalam menjawab berbagai tantangan modern.
Di sejumlah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, konflik diakui masih terjadi. Sejauh ini muncul kesan, konflik yang terjadi karena sebab-sebab agama. Namun, dalam konferensi muncul penjelasan, konflik tersebut lebih merupakan konflik politik yang harus dicari jalan keluar untuk mengakhirinya.
Sementara menyangkut perbedaan, cendekiawan NU Said Aqiel Siradj melihat itu bukan masalah karena masing-masing (bangsa dan komunitas) memiliki pengalaman berbeda. Yang penting, perbedaan tidak diikuti dengan permusuhan dan kebencian. Kita menilai baik pandangan itu dan dapat diperluas untuk konteks lebih besar hingga ke level antarbangsa. Ini mengingat dunia pascakejadian 11 September 2001 diliputi oleh perkembangan politik yang tidak menguntungkan Islam.
Salah satu upaya untuk memperluas saling pengertian adalah dengan meluaskan pendidikan berorientasi damai. Menurut Dekan Fisipol UGM Mohtar Mas’oed, upaya memperluas pendidikan perdamaian telah dilakukan meskipun sifatnya masih sporadis. Termasuk dalam hal ini adalah dialog antaragama.
Selain mendorong kerja sama mengembangkan perdamaian, konferensi juga mendapat masukan penting dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden mengimbau umat Islam perlu segera mengakhiri konflik internal agar dapat memusatkan diri pada pembangunan ekonomi dan mengangkat kehidupan 600 juta umat yang masih hidup dalam kemiskinan.
Itulah sebenarnya intisari tantangan yang masih melilit umat Islam, dan harus secara jernih dilihat, dan direspons dengan sekuat tenaga. Kita tahu, kalau tidak ada upaya untuk memperbaiki perikehidupannya, umat akan terus tertinggal dan itu membuatnya terus rentan terkena konflik. Kita berharap konferensi memberikan perhatian besar pada isu strategis ini.

Kemiskinan Jadi Pemicu

Kekayaan Alam Negara Muslim Belum Sejahterakan Umat
Dikutip dari Harian KOMPAS, Jumat, 1 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Kesenjangan ekonomi yang masih besar di banyak negara berpenduduk Islam merupakan salah satu sumber pemicu terjadinya konflik dan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam harus ditujukan sepenuhnya untuk menyejahterakan seluruh umat.
Demikian rangkuman diskusi panel sejumlah ulama dan pemikir Islam dari Somalia, Filipina, Indonesia, Suriah, dan Iran pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3, Kamis (31/7) di Jakarta. Dari beberapa kasus konflik yang melibatkan umat Islam, baik di Indonesia, Somalia, maupun Filipina selatan, terlihat kesenjangan ekonomi memicu konflik.
Pada dasarnya, konflik itu lebih berakar pada masalah ekonomi, tetapi aspek agama lebih menonjol karena adanya perbedaan agama di antara para individu yang terlibat konflik.
Dr Ali Mahmud Hassan, ulama Somalia, mengatakan, motif penjajahan untuk penguasaan sumber daya ekonomi negara-negara Islam dilakukan oleh negara-negara Barat.
Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya kesatuan pandangan di antara negara-negara Islam. ”Negara-negara Islam cenderung berjarak, tidak ada kesatuan pikiran dan langkah. Di setiap negara Muslim, hampir setiap organisasi sosial yang bergerak untuk kepentingan umat Islam tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintahan sendiri,” katanya.
Ulama terkemuka Iran, Ayatollah Ali Taskhiri, mengungkapkan, sebenarnya di kalangan umat sendiri ada kesadaran untuk bekerja sama guna memperkuat ekonomi umat Islam.
Akan tetapi, sering kali hal itu terbentur pada kebijakan pemerintahan di negara-negara Islam, yang justru lebih mengutamakan kepentingan bangsa lain, khususnya Barat.
”Mungkin karena keluguan dan kebodohan kita juga kita seolah menerima saja yang datang dari Barat,” papar ulama yang sangat berpengaruh itu.

Ironi
Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik, dari Australia, Ameer Ali menegaskan, konflik yang terjadi di dunia Muslim merupakan sebuah ironi. Seharusnya komunitas Muslim berkedudukan kuat mengingat banyaknya kekayaan sumber minyak bumi di berbagai negara Muslim, yang menjadi incaran banyak negara lainnya.
Dr Santanina Tillah Rasul, mantan senator yang juga Ketua Pendiri Yayasan Magbassa Kita, Filipina, mengatakan, sejarah konflik di Filipina selatan pun bersumber dari soal ekonomi. Ada kebijakan marjinalisasi ekonomi warga Muslim di selatan negara itu. Pencegahan kesenjangan ekonomi kini menjadi tuntutan warga Muslim yang ditujukan kepada Pemerintah Filipina. (LUK/OKI)

Kembali

Menag Jelaskan Kasus Ahmadiyah ke Uni Eropa

Dikutip dari Rubrik Sosial Budaya di Harian Jurnal Nasional Jakarta Senin, 14 Jul 2008, halaman 05.

Sejumlah duta besar negara-negara Uni Eropa mempertanyakan masalah Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) kepada Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni.
"Kedatangan para duta besar Uni Eropa ini mempertanyakan masalah Ahmadiyah, karena menimbulkan kebingungan terhadap mereka dan semua sudah kami jelaskan dan mereka bisa menerimanya," ujar Menag kepada wartawan menjelaskan pertemuan yang berlangsung di ruang sidang Departemen Agama Jakarta, belum lama ini.
Pimpinan Delegasi Uni Eropa Catherine Boivineau menyatakan terima kasih diberi kesempatan untuk berdialog secara resmi dan mendapat penjelasan yang sangat baik dari Menteri Agama.
Pasalnnya selama ini yang menjadi kebingungan dari masyarakat negara Uni Eropa, Indonesia dikenal sebagai negara yang moderat menghargai dialog dan toleransi, tapi kenapa ada isu Ahmadiyah.
Menjawab wartawan tentang keinginan apa yang diperoleh dari pertemuan dengan Menteri Agama, Catherina mengatakan, pihaknya hanya meminta latar belakang, kemudian langkah-langkah yang sudah diambil dalam penanganan Ahmadiyah.
"Tidak ada target yang sangat muluk," ujarnya.
Sementara Menteri Agama mengatakan, pihaknya telah menjelaskan kepada delegasi Uni Eropa bahwa penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukanlah bentuk intervensi pemerintah terhadap keyakinan warga masyarakat.
"Intinya kami menjelaskan SKB bukan intervensi pemerintah," kata pria yang pernah menjadi Duta Besar RI di Kerajaan Arab Saudi dan Kuwait ini.
Bagi pemerintah, upaya itu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham Ahmadiyah.
Bagi pemerintah, lanjutnya, masalah JAI mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat.
"Kedua sisi ini harus ditangani pemerintah," tandas Menag.
Menag dalam pertemuan tersebut didampingi Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag Atho Mudzhar, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Buddha Budi Setyawan Dirjen Bimas Kristen Jason Lase, Dirjen Bimas Katolik Stef Agus,dan Sekretaris Dirjen Bimas Hindu I Gusti Bagus Ngurah.
Timur Arif Riyadi
Kembali

Rekonsiliasi Islam-Barat Melalui Asia Tenggara

by : Yogyo Susaptoyono /Rusdy Setiawan Putra
Dikutip dari Rubrik Sosial - Budaya, Harian Jurnal Nasional, Jakarta, Kamis, 31 Jul 2008 halaman 05.

JALAN rekonsiliasi antara dunia Islam dengan barat akan melalui Asia Tenggara.
"Saya percaya bahwa jalan rekonsiliasi antara dunia Islam akan melalui kawasan Asia Tenggara karena kami belajar hidup dalam keberagaman," kata Sekertaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan seusai menyampaikan sambutannya dalam seminar Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (ICIS) III di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (30/7).
Surin mengatakan, selama ini masyarakat Asia Tenggara telah terbukti mampu hidup bersama dalam keberagaman. Surin merujuk pada keberhasilan ASEAN menjaga stabilitas di kawasan selama 40 tahun terakhir.
"Masyarakat Asia Tenggara hidup belajar dalam keberagaman, dalam perbedaan dan saya kira masyarakat muslim di Asia Tenggara mampu menerima segala hal jauh lebih baik dari yang lainnya," ujar mantan Menlu Thailand itu.
Bagi Surin yang dibesarkan di daerah konflik Thailand Selatan, keterbukaan masyarakat muslim Asia Tenggara yang dipelopori oleh Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, merupakan suatu contoh yang baik.
"Masyarakat muslim Asia Tenggara terbukti mampu menghadapi globalisasi dan dapat hidup dengan baik dengan itu," katanya.
Namun, kata Surin, harus diakui bahwa potensi konflik memang terbuka lebar. "Yang penting adalah bagaimana masyarakat muslim dapat mengubah potensi konflik itu menjadi potensi kerja sama, itu yang perlu dipikirkan," ujarnya.
ASEAN merupakan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang terdiri dari 10 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina, Kamboja, Laos, Vietnam, Singapura, dan Myanmar.
Seminar internasional selama tiga hari yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama itu bertema peran Islam membangun perdamaian dan menghindari konflik.
Sekretaris Jenderal ICIS III KH Hasyim Muzadi menyatakan ICIS III akan merumuskan rekomendasi resolusi konflik di dunia Islam.
"Rekomendasi ICIS III nanti dapat digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga-lembaga dunia lainnya atau pihak-pihak di sejumlah negara Islam yang sedang berkonflik," katanya.
Karena itu, tambah Hasyim yang juga Ketua Umum PBNU itu, dalam ICIS III yang digelar pada 29 Juli hingga 1 Agustus mendatang akan diupayakan penyamaan pandangan di antara umat Islam di dunia tentang konflik itu sendiri.
Yogyo S Yono / Rusdy Setiawan Putra
Kembali

Rabu, 30 Juli 2008

Faktor Luar Picu Konflik

Islam Sangat Kuat Mendorong Perdamaian

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sambutan saat pembukaan acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (30/7). Acara yang dimotori Nahdlatul Ulama dan dihadiri ratusan pemimpin Muslim dunia ini membahas berbagai konflik di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Dikutip dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 08.

Jakarta, Kompas - Berbagai konflik yang terjadi di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal ketimbang internal di antara umat Muslim di negara-negara tersebut. Pengaruh eksternal inilah yang perlu semakin dikurangi, dengan penguatan umat Islam sendiri.
Demikian rangkuman Kompas dari sejumlah pandangan yang disampaikan para ulama dan pemikir Islam yang mengikuti International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3, Rabu (30/7). ICIS ini diselenggarakan pada 29 Juli-1 Agustus di Jakarta atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Departemen Luar Negeri, dengan 350 peserta dari 67 negara.
Ulama terkemuka Suriah sekaligus pemikir Islam yang buku-bukunya menjadi bacaan wajib di berbagai negara, Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan, selama 14 abad negara-negara Arab dan Islam hidup dalam damai. ”Sejak Amerika Serikat datang dan menanamkan pengaruhnya, justru terjadi perpecahan di negara-negara Arab,” ujarnya.
Ketua Majelis Dakwah Islam Sudan Syeh Umar Idris Hadrah menuturkan hal yang sama. Sudan sempat goyang akibat konflik Darfur, tetapi saat ini kondisi keamanan dan politik mulai stabil. Meski demikian, Barat selalu berusaha mengganggu stabilitas karena ingin meraup kekayaan alam Sudan, terutama di Darfur.
”Konflik antaretnis Darfur itu tidak benar. Hal itu hanya dibesar-besarkan media asing. Ada upaya memecah belah rakyat Sudan,” ujarnya.
Kepala kantor pemimpin Syiah Irak Moqtada al-Sadr, Majid Kadhim Shanyoor, menegaskan, sejak awal kelompok Al-Sadr mengikuti pemilu karena ingin memperbaiki kondisi politik dalam negeri dan meminta pemerintah Irak membuat jadwal penarikan pasukan AS.
”Jika AS masih ada di Irak, kondisi Irak tidak akan pernah aman karena konflik antara kelompok Al-Sadr dengan Sunni dan Kurdi merupakan cara AS memecah belah bangsa Irak. Kami menolak segala macam keinginan pembagian wilayah dan kekayaan sumber alam. Kami menginginkan Irak yang bersatu dan penarikan pasukan AS. Kami tidak terlibat dalam pertikaian kelompok di Irak,” kata Majid.
Berbagai perbedaan
Para ulama mengakui, di dalam Islam sendiri memang ada berbagai perbedaan. Meski demikian, berbagai perbedaan itu tidak pernah menjadi sumber konflik.
Dr Said Aqiel Siradj, intelektual Islam dari NU, menjelaskan, perbedaan antarulama sangat baik karena memacu para ulama untuk terus memperkaya pemikirannya diselaraskan dengan kondisi sekarang.
”Tidak apa-apa adanya perbedaan itu. Tidak akan membingungkan umat. Perbedaan yang positif, yang dilatarbelakangi oleh pengalaman masing-masing. Masing-masing punya pengalaman sendiri-sendiri. Yang penting tidak mengundang permusuhan, kebencian,” ungkapnya.
Meski demikian, Dr Ameer Ali, Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik (RISEAP) dari Australia, menilai, ulama adalah bagian dari masalah dan bukan solusi karena pendapat mereka terpecah belah. Akibatnya, umat Muslim tidak dapat menangkap pesan yang jelas dari para ulama dan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, para ulama perlu menyamakan sikap dan pandangannya. (LUK/OKI)

Kembali

Konflik Bermuara Bukan pada Agama, tetapi Politik

ICIS ke-3
Dikutip dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008 halaman 08

Jakarta, Kompas - Konflik-konflik yang terjadi di negara-negara berpenduduk Islam, seperti di Irak, Lebanon, juga Sudan, sesungguhnya tidaklah bermuara pada agama. Konflik- konflik tersebut lebih merupakan konflik politik semata, tetapi digambarkan pihak Barat sebagai konflik agama.
Hal itu ditegaskan sejumlah ulama dari beberapa negara yang mengalami konflik ketika ditemui Kompas di sela-sela International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3 di Jakarta, Rabu (30/7).
Ulama terkemuka Lebanon, Maher Mezher, mengatakan, konflik yang terjadi di Lebanon sesungguhnya adalah wujud dari ketidakpuasan rakyat semata terhadap pemerintahnya.
”Tidak benar bahwa antara Sunni dan Syiah di Lebanon terjadi konflik. Apa yang dilakukan Hezbollah didukung oleh 80 persen rakyat Lebanon, dari Sunni, Syiah, Druze, juga Nasrani,” ungkapnya.
Mezher, yang tegas-tegas mengakui dirinya adalah warga Sunni, sama sekali tidak memusuhi kelompok Hezbollah Lebanon, yang mayoritas adalah pengikut Syiah. Konflik yang terjadi di Lebanon karena itu tak bisa dipandang sebagai konflik Sunni-Syiah karena di sana juga ada Druze dan warga Nasrani yang juga terlibat dalam konflik itu.
”Kami juga tidak mempersoalkan Israel karena Yahudi-nya, tetapi karena mereka mencaplok wilayah kami dan belum mengembalikannya hingga saat ini,” paparnya.

”Islamic phobia”
Ketua Urusan Hubungan Antaragama dan Antarbudaya UNESCO Gary D Bouma dalam makalahnya mengingatkan bahwa ketakutan terhadap Islam (Islamic phobia) di negara-negara Barat juga tidak seragam.
Di negara-negara Barat yang pluralisme agamanya tinggi, seperti Australia, Islamic phobia tidak menonjol. Kalaupun ada kasus seperti warga menolak pendirian sekolah Islam, yang terjadi di kota Camden, Australia, hal itu lebih karena kekhawatiran warga akan turunnya nilai tanah di daerah itu dan ketakutan-ketakutan yang diembuskan tokoh-tokoh agama lain yang sebenarnya bukan karena alasan agama. (LUK/OKI)

Metode Tembak Mati Diajukan ke MK

Pengujian UU
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008

Jakarta, Kompas - Metode tembak mati bagi narapidana yang dijatuhi hukuman mati akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Metode tembak mati ini dinilai memberikan celah penyiksaan dan melanggar hak asasi manusia.
Rencana pengujian (judicial review) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Mati ini akan dilakukan oleh Tim Pembela Muslim (TPM) yang selama ini mendampingi Amrozi dkk. Hal ini disampaikan Ketua TPM Mahendradatta di Jakarta, Rabu (30/7). Sebelumnya TPM menyampaikan hal itu dalam jumpa pers di kantornya, Selasa.
Menurut rencana, pengujian undang-undang ini akan dilakukan pada Selasa (5/8) oleh tim pengacara yang dipimpin Adnan Wirawan.
Menurut Mahendradatta, TPM menemukan ada persoalan dalam UU Nomor 2/PNPS/1964. Dari sisi materiil, tata cara hukuman mati dengan cara menembak telah menyisakan penyiksaan yang jelas-jelas melanggar Pasal 28 I UUD 1945. ”Secara materiil, undang-undang itu secara normatif mengakui adanya penyiksaan, yaitu dengan kalimat narapidana yang dihukum mati akan ditembak sekali, namun jika tidak berhasil, maka akan ditembak dua kali,” katanya.
Mahendradatta membantah pengajuan uji materi itu sebagai upaya untuk menunda pelaksanaan eksekusi mati bagi Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. ”Amrozi siap untuk dihukum mati sejak dulu. Kami ingin, apabila dieksekusi, lakukan dengan hukum yang benar,” katanya.
Saat ditanya mengapa baru kali ini uji materi diajukan, menurut Mahendradatta, selama ini Tim Pembela Muslim berkonsentrasi pada pengajuan peninjauan kembali.
Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron dijatuhi hukuman mati dalam kasus peledakan bom di Bali, Oktober 2002. (VIN/IDR)

Pancasila Bisa Dijadikan Contoh

Kebhinnekaan Tetap Hadapi Tantangan
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 03.

Jakarta, Kompas - Pancasila sebagai ideologi bangsa terbukti mampu menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, budaya, dan agama. Meskipun pelaksanaannya dalam kehidupan berbangsa tidak selalu berhasil, penyempurnaan pemahaman atas nilai Pancasila terus dilakukan. Hal itu diungkapkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri di hadapan peserta International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta, Rabu (30/7).
Semangat Bhinneka Tunggal Ika yang tercantum dalam Pancasila dapat menjadi penghubung dan pemersatu antarberbagai kelompok bangsa.
Namun, lanjut Megawati, pelaksanaan nilai Pancasila tidaklah mudah. Sejumlah konflik sektarian pernah terjadi di Indonesia pasca-Indonesia merdeka. Konflik ini mengganggu hubungan antarkelompok yang dipersatukan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.
”Indonesia terus belajar mengelola keberagaman. Memang tidak selalu berhasil. Pelaksanaan Bhinneka Tunggal Ika tidak semudah seperti saat diucapkan,” katanya.
Dalam kehidupan beragama, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia mampu menyebar secara damai ke seluruh penjuru Nusantara. Islam mampu hidup berdampingan dengan masyarakat dan budaya setempat.
Namun, kehidupan beragama yang penuh toleran itu terganggu dengan semakin menguatnya radikalisme agama. Penguatan radikalisme ini sangat dipengaruhi oleh memburuknya hubungan antara Barat dan Islam.
Kondisi itu seharusnya disikapi secara bijak oleh bangsa Indonesia. Indonesia bukan negara yang dibangun berdasarkan agama. Keyakinan bahwa Pancasila mampu mengatasi berbagai persoalan radikalisme, intoleransi, dan terorisme harus terus dibangun.
Sebagai negara demokrasi yang besar, hal itu menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan multikulturalismenya. Indonesia tetap dapat tumbuh menjadi negara besar tanpa harus mendasarkan diri pada satu ajaran agama tertentu sebagai dasar negara.
Menurut Megawati, Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia dalam menyikapi berbagai pertikaian agama dan konflik global. Dengan Pancasila, Indonesia dapat menjadi contoh membangun kehidupan berbangsa dan beragama yang damai dan selaras.
Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan mengatakan, keberhasilan Indonesia dalam mengelola keberagamannya akan memberi pengaruh besar bagi ASEAN. Penghargaan atas perbedaan, saling memahami dan menghormati dalam keberagaman, dapat menjadi dasar dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan konflik.
”Daripada selalu mencari perbedaan, lebih baik melihat masing-masing persamaannya,” katanya. (MZW)

Presiden Minta Perkuat Ekonomi Umat

Konferensi ICIS
Dikutip dari Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 01

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan 350 perwakilan dan pemikir Islam, menegaskan perlunya memperkuat ekonomi dan kesejahteraan sosial di antara umat. Hal ini merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendorong keberlangsungan perdamaian di dunia Islam.
Presiden menegaskan ini saat membuka International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke-3 di Jakarta, Rabu (30/7). ICIS ketiga ini menghadirkan perwakilan dan pemikir Islam dari 67 negara. ICIS digelar dua tahun sekali sejak tahun 2004 dan diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Perlunya memperkuat ekonomi ini, tegas Presiden, karena berdasarkan United Nation Human Development Index, hanya sembilan negara di dunia Islam yang masuk kategori maju. ”Sekitar 40 persen populasi orang dewasa di masing-masing negara muslim tidak melek huruf,” ujar Presiden. Dijelaskan, hampir 40 persen umat hidup di bawah garis kemiskinan. ”Jutaan muslim menjalani hidup kurang dari satu dollar AS (sekitar Rp 9200 -red) per hari," ujarnya.
Dalam kenyataan, ujar Presiden, dunia Islam memasok 70 persen energi, 40 persen bahan baku industri dunia, serta 20 persen populasi warga dunia. Dunia Islam memiliki kekuatan mencapai perdamaian dan keamanan.
"Konferensi ini adalah peluang bagi kita untuk memperkuat ukhuwah sejagad. Ini juga merupakan peluang untuk memformulasi langkah praktis mengatasi batas-batas politik, ekonomi, dan sosial untuk perdamaian dan kemajuan," ujar Presiden.

Egois
Sementara Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla saat menerima peserta ICIS di Jakarta, Selasa menegaskan, rasa egoisme dan ketidakadilan di antara umat manusia, tak hanya memicu konflik antarumat manusia itu sendiri, akan tetapi juga konflik antarumat beragama dan konflik antara umat dengan negara. Konflik yang terjadi, akan semakin sulit diselesaikan apabila konflik tersebut telah dibumbu-bumbui dengan solidaritas keagamaan.
"Inti dari konflik apapun yang terjadi selama ini adalah ketidakadilan dan rasa egoisme di antara kita. Kadang-kadang untuk mempercepat konflik, terjadinya pemihakan pada pihak-pihak yang berkonflik dengan adanya solidaritas agama sehingga semakin mempersulit selesainya konflik," ujar Wapres Kalla, yang diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Alwi Shihab.
Menurut Wapres Kalla, sumber konflik yang berawal dari ketidakadilan yang memicu munculnya rasa ketidakpuasan, bisa terjadi dari berbagai sektor, seperti bidang ekonomi dan pendidikan. "Kesenjangan ekonomi yang terjadi di antara negara-negara Islam juga dapat memunculkan rasa ketidakpuasan sehingga memudahkan terjadinya konflik," tambah Wapres Kalla.

Tidak ingin dibajak
Seretaris Jenderal ICIS KH Hasyim Muzadi dalam sambutannya pada acara pembukaan mengemukakan, Islam sebagai rahmat semesta alam yang mempromosikan damai, solidaritas, dan keadilan tidak ingin dibajak oleh mereka yang mengobarkan kebencian, kekerasan, dan teror. "Islam membawa nilai-nilai moderasi seperti toleransi," ujarnya.
Konflik dan kekerasan yang masih terjadi di sejumlah dunia Islam menurut Hasyim disebabkan faktor ketidakadilan global dan perebutan sumber daya alam di damping sejumlah masalah internal lain. (INU/HAR)