Rabu, 30 Juli 2008

Faktor Luar Picu Konflik

Islam Sangat Kuat Mendorong Perdamaian

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO / Kompas Images Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sambutan saat pembukaan acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (30/7). Acara yang dimotori Nahdlatul Ulama dan dihadiri ratusan pemimpin Muslim dunia ini membahas berbagai konflik di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Dikutip dari Rubrik Internasional di Harian KOMPAS, Kamis, 31 Juli 2008, halaman 08.

Jakarta, Kompas - Berbagai konflik yang terjadi di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal ketimbang internal di antara umat Muslim di negara-negara tersebut. Pengaruh eksternal inilah yang perlu semakin dikurangi, dengan penguatan umat Islam sendiri.
Demikian rangkuman Kompas dari sejumlah pandangan yang disampaikan para ulama dan pemikir Islam yang mengikuti International Conference of Islamic Scholars (ICIS) Ke-3, Rabu (30/7). ICIS ini diselenggarakan pada 29 Juli-1 Agustus di Jakarta atas kerja sama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Departemen Luar Negeri, dengan 350 peserta dari 67 negara.
Ulama terkemuka Suriah sekaligus pemikir Islam yang buku-bukunya menjadi bacaan wajib di berbagai negara, Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan, selama 14 abad negara-negara Arab dan Islam hidup dalam damai. ”Sejak Amerika Serikat datang dan menanamkan pengaruhnya, justru terjadi perpecahan di negara-negara Arab,” ujarnya.
Ketua Majelis Dakwah Islam Sudan Syeh Umar Idris Hadrah menuturkan hal yang sama. Sudan sempat goyang akibat konflik Darfur, tetapi saat ini kondisi keamanan dan politik mulai stabil. Meski demikian, Barat selalu berusaha mengganggu stabilitas karena ingin meraup kekayaan alam Sudan, terutama di Darfur.
”Konflik antaretnis Darfur itu tidak benar. Hal itu hanya dibesar-besarkan media asing. Ada upaya memecah belah rakyat Sudan,” ujarnya.
Kepala kantor pemimpin Syiah Irak Moqtada al-Sadr, Majid Kadhim Shanyoor, menegaskan, sejak awal kelompok Al-Sadr mengikuti pemilu karena ingin memperbaiki kondisi politik dalam negeri dan meminta pemerintah Irak membuat jadwal penarikan pasukan AS.
”Jika AS masih ada di Irak, kondisi Irak tidak akan pernah aman karena konflik antara kelompok Al-Sadr dengan Sunni dan Kurdi merupakan cara AS memecah belah bangsa Irak. Kami menolak segala macam keinginan pembagian wilayah dan kekayaan sumber alam. Kami menginginkan Irak yang bersatu dan penarikan pasukan AS. Kami tidak terlibat dalam pertikaian kelompok di Irak,” kata Majid.
Berbagai perbedaan
Para ulama mengakui, di dalam Islam sendiri memang ada berbagai perbedaan. Meski demikian, berbagai perbedaan itu tidak pernah menjadi sumber konflik.
Dr Said Aqiel Siradj, intelektual Islam dari NU, menjelaskan, perbedaan antarulama sangat baik karena memacu para ulama untuk terus memperkaya pemikirannya diselaraskan dengan kondisi sekarang.
”Tidak apa-apa adanya perbedaan itu. Tidak akan membingungkan umat. Perbedaan yang positif, yang dilatarbelakangi oleh pengalaman masing-masing. Masing-masing punya pengalaman sendiri-sendiri. Yang penting tidak mengundang permusuhan, kebencian,” ungkapnya.
Meski demikian, Dr Ameer Ali, Wakil Presiden Majelis Dakwah Islam Regional Asia Tenggara dan Pasifik (RISEAP) dari Australia, menilai, ulama adalah bagian dari masalah dan bukan solusi karena pendapat mereka terpecah belah. Akibatnya, umat Muslim tidak dapat menangkap pesan yang jelas dari para ulama dan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, para ulama perlu menyamakan sikap dan pandangannya. (LUK/OKI)

Kembali

Tidak ada komentar: